Menanggapi ditariknya drone buatan DJI dari US Army (militer Amerika Serikat/AS), Researcher Drone dan Mobile Ad Hoc Network (Manet) dari Universitas Gunadarma, M Akbar Marwan menilai bahwa perangkat lunak DJI tak hanya rentan serangan siber, tapi juga dicurigai dapat memata-matai aktivitas pengguna.
"Bukan itu saja, bahkan ada sebuah laporan yang sangat rinci soal data yang diambil oleh drone DJI," kata Akbar kepada Tekno Liputan6.com melalui email, Rabu (9/8/2017) di Jakarta.
Kemungkinan besar hal itu yang melatarbelakangi militer AS menyetop penggunaan drone DJI, baik dari sisi elektronik, perangkat lunak, pengendali penerbangan, dan sistem kontrol kecepatan.
Akbar berujar, bila seorang pilot drone menggunakan aplikasi DJI GO 4 dan mengunggah catatan penerbangan ke server DJI dengan menggunakan pengaturan default di aplikasi, akan ada banyak detail yang terkait dengan misi drone tersebut.
Misalnya, kata akbar, seperti telemetri yaitu kondisi ketika drone diterbangkan, termasuk koordinat GPS, ketinggian, kecepatan, dan rincian kinerja pesawat lainnya.
"Kemudian video, di mana versi video thumbnail juga disediakan untuk DJI menunjukkan rekamannya. Selain itu, saat menggunakan smartphone atau tablet, rekaman mikrofon untuk semua percakapan dan suara juga disertakan dengan file cache video," imbuhnya menjelaskan.
Bila sensor memiliki mikrofon, drone juga berbagi audio. Kombinasi data tersebut menghasilkan catatan lengkap setiap penerbangan yang diambil oleh drone menggunakan aplikasi DJI dan Drone. Informasi ini disebut-sebut tersimpan di server DJI di Amerika Serikat, China, dan Hong Kong.
Menurut Akbar, informasi yang detail seperti telemetri, audio, dan video yang didapatkan oleh drone sangat diperlukan oleh pilot dalam melakukan misi menggunakan drone.
"Pun demikian, antisipasi pemindahan informasi tanpa izin oleh aplikasi dan drone masih bisa dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya, dengan menggunakan aplikasi sejenis yang sudah melakukan blocking terhadap transfer data ke internet," tutupnya memberikan solusi kepada para pengguna drone DJI.
Sebelumnya, militer AS Amerika Serikat menghentikan penggunaan drone DJI karena berkaitan dengan kerentanan siber pada perangkatnya. Upaya pelarangan menggunakan drone besutan perusahaan Tiongkok itu dilakukan melalui memo yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat AS pada 2 Agustus 2017.
Mengutip laman Reuters, larangan tersebut berlaku untuk semua produk drone DJI dan sistem yang menggunakan komponen atau perangkat lunak DJI.
Dalam memo internal tertulis, "Semua personil militer harus menghentikan penggunaan DJI, menghapus semua aplikasi DJI, dan menghentikan penggunaan baterai serta mengamankan seluruh ruang penyimpanan."
Sekadar diketahui, dalam memo itu juga menyebut, ketimbang merek lain, drone DJI merupakan yang paling banyak dipakai oleh militer Amerika Serikat. Sementara itu, dilansir VOA Indonesia, DJI mengaku terkejut dan kecewa dengan pembatasan drone besutan mereka yang dikeluarkan tiba-tiba tanpa perundingan terlebih dahulu.
Pihaknya juga menyebut, bakal menghubungi militer AS untuk memastikan kerentanan siber apa yang mungkin ada pada produknya. DJI juga menyatakan, pihaknya bersedia bekerja sama dengan Pentagon untuk membahas permasalahan ini.
"Bukan itu saja, bahkan ada sebuah laporan yang sangat rinci soal data yang diambil oleh drone DJI," kata Akbar kepada Tekno Liputan6.com melalui email, Rabu (9/8/2017) di Jakarta.
Kemungkinan besar hal itu yang melatarbelakangi militer AS menyetop penggunaan drone DJI, baik dari sisi elektronik, perangkat lunak, pengendali penerbangan, dan sistem kontrol kecepatan.
Akbar berujar, bila seorang pilot drone menggunakan aplikasi DJI GO 4 dan mengunggah catatan penerbangan ke server DJI dengan menggunakan pengaturan default di aplikasi, akan ada banyak detail yang terkait dengan misi drone tersebut.
Misalnya, kata akbar, seperti telemetri yaitu kondisi ketika drone diterbangkan, termasuk koordinat GPS, ketinggian, kecepatan, dan rincian kinerja pesawat lainnya.
"Kemudian video, di mana versi video thumbnail juga disediakan untuk DJI menunjukkan rekamannya. Selain itu, saat menggunakan smartphone atau tablet, rekaman mikrofon untuk semua percakapan dan suara juga disertakan dengan file cache video," imbuhnya menjelaskan.
Bila sensor memiliki mikrofon, drone juga berbagi audio. Kombinasi data tersebut menghasilkan catatan lengkap setiap penerbangan yang diambil oleh drone menggunakan aplikasi DJI dan Drone. Informasi ini disebut-sebut tersimpan di server DJI di Amerika Serikat, China, dan Hong Kong.
Menurut Akbar, informasi yang detail seperti telemetri, audio, dan video yang didapatkan oleh drone sangat diperlukan oleh pilot dalam melakukan misi menggunakan drone.
"Pun demikian, antisipasi pemindahan informasi tanpa izin oleh aplikasi dan drone masih bisa dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya, dengan menggunakan aplikasi sejenis yang sudah melakukan blocking terhadap transfer data ke internet," tutupnya memberikan solusi kepada para pengguna drone DJI.
Sebelumnya, militer AS Amerika Serikat menghentikan penggunaan drone DJI karena berkaitan dengan kerentanan siber pada perangkatnya. Upaya pelarangan menggunakan drone besutan perusahaan Tiongkok itu dilakukan melalui memo yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat AS pada 2 Agustus 2017.
Mengutip laman Reuters, larangan tersebut berlaku untuk semua produk drone DJI dan sistem yang menggunakan komponen atau perangkat lunak DJI.
Dalam memo internal tertulis, "Semua personil militer harus menghentikan penggunaan DJI, menghapus semua aplikasi DJI, dan menghentikan penggunaan baterai serta mengamankan seluruh ruang penyimpanan."
Sekadar diketahui, dalam memo itu juga menyebut, ketimbang merek lain, drone DJI merupakan yang paling banyak dipakai oleh militer Amerika Serikat. Sementara itu, dilansir VOA Indonesia, DJI mengaku terkejut dan kecewa dengan pembatasan drone besutan mereka yang dikeluarkan tiba-tiba tanpa perundingan terlebih dahulu.
Pihaknya juga menyebut, bakal menghubungi militer AS untuk memastikan kerentanan siber apa yang mungkin ada pada produknya. DJI juga menyatakan, pihaknya bersedia bekerja sama dengan Pentagon untuk membahas permasalahan ini.
Okeh
ReplyDelete